Kelompok separatis bersenjata yang mengatasnamakan dirinya sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menjadi sorotan publik nasional setelah rangkaian tindakan brutal yang mereka lakukan, terutama terhadap sektor pelayanan dasar masyarakat seperti fasilitas kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat sejumlah puskesmas, rumah sakit, dan pos kesehatan di wilayah pedalaman Papua menjadi sasaran aksi kekerasan yang dilakukan kelompok ini. Tindakan pembakaran dan pembantaian yang mereka lakukan telah memberikan dampak serius terhadap pelayanan kesehatan di wilayah-wilayah yang paling membutuhkan perhatian pemerintah.
Salah satu kejadian tragis terjadi pada tahun 2023 di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam aksi tersebut, kelompok OPM menyerang dan membakar Puskesmas Kiwirok hingga rata dengan tanah. Tidak hanya membakar bangunan, mereka juga melakukan tindakan keji terhadap para tenaga kesehatan. Seorang perawat wanita ditemukan meninggal dunia setelah dianiaya dengan kejam dan dilempar ke jurang. Tenaga kesehatan lainnya mengalami luka berat dan trauma psikologis yang mendalam akibat peristiwa tersebut.
Padahal, fasilitas kesehatan adalah jantung dari pelayanan kemanusiaan. Dalam kondisi geografis Papua yang sangat menantang, keberadaan puskesmas dan posyandu di wilayah terpencil sangat vital. Jika layanan ini lumpuh akibat teror, maka masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil, dan lansia, akan menjadi pihak yang paling dirugikan.
Serangan yang dilakukan OPM terhadap sektor kesehatan membawa dampak jangka panjang yang sangat serius. Banyak daerah akhirnya mengalami kekosongan layanan kesehatan karena tenaga medis enggan bertugas di lokasi-lokasi yang dianggap tidak aman. Ketakutan akan menjadi korban kekerasan menyebabkan dokter, perawat, dan bidan mengajukan mutasi atau bahkan mengundurkan diri.
Ketiadaan tenaga kesehatan ini berakibat pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, rendahnya tingkat imunisasi, serta keterlambatan penanganan penyakit menular dan kronis. Masyarakat menjadi korban dua kali: pertama karena tindakan kekerasan OPM, dan kedua karena kehilangan akses terhadap layanan dasar.
Sejumlah warga yang tinggal di wilayah terdampak serangan OPM mengaku hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Salah seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa masyarakat tidak lagi berani mendekati puskesmas karena khawatir menjadi sasaran.
“Kami hanya ingin berobat, tapi takut karena kelompok bersenjata sering datang dan mengintimidasi. Dulu ada puskesmas, tapi sekarang sudah terbakar. Dokternya pun tidak kembali,” ujar pria tersebut, Minggu (11/5/2025).
Bahkan, menurut informasi dari aparat keamanan, dalam beberapa kasus, OPM menggunakan fasilitas kesehatan yang telah dibakar sebagai tempat persembunyian atau logistik, memperparah ketegangan antara mereka dan warga sipil.
Di tengah situasi yang menegangkan, suara masyarakat Papua sendiri semakin lantang menolak kekerasan yang dilakukan OPM. Banyak tokoh adat dan tokoh agama di Papua menyuarakan kecaman atas aksi pembakaran dan pembantaian yang dilakukan terhadap fasilitas umum.
Pendeta Esau Wonda, seorang tokoh gereja di Lanny Jaya, mengatakan bahwa tindakan OPM telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. “Tidak ada perjuangan yang membenarkan pembunuhan terhadap tenaga kesehatan atau pembakaran rumah sakit. Itu bukan perjuangan, tapi teror,” tegasnya.
Penolakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua sesungguhnya menginginkan kedamaian dan kesejahteraan.
Aksi pembakaran dan pembantaian yang dilakukan oleh OPM terhadap fasilitas kesehatan bukan hanya tindakan kriminal, tetapi juga serangan terhadap kemanusiaan. Dalam kondisi geografis Papua yang menantang, layanan kesehatan adalah garis hidup bagi masyarakat pedalaman. Menghancurkan fasilitas tersebut sama saja dengan mencabut hak dasar rakyat Papua untuk hidup sehat dan sejahtera.