KKB Gunakan Pemerasan dan Pemalakan untuk Biayai Aksi Kriminal di Papua

banner 120x600
banner 468x60

Di tengah intensitas pengawasan keamanan yang semakin tinggi di Papua, kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus berusaha mempertahankan eksistensinya melalui berbagai cara. Salah satu metode utama yang digunakan OPM dalam mendanai kegiatan operasional mereka adalah praktik pemerasan dan pemalakan terhadap masyarakat sipil, pelaku usaha lokal, hingga aparat desa. Tindakan tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga memunculkan ketakutan dan tekanan psikologis yang mendalam bagi warga yang terpaksa menjadi korban aksi sepihak kelompok tersebut.

Laporan dari berbagai wilayah di Papua Pegunungan dan Papua Tengah menyebutkan bahwa aksi pemerasan ini dilakukan secara sistematis. OPM menyasar individu maupun kelompok yang memiliki usaha ekonomi, terutama pendatang, kontraktor, hingga pedagang lokal. Mereka diintimidasi agar membayar “uang keamanan” dalam jumlah yang tidak sedikit, sebagai syarat agar dapat menjalankan aktivitas bisnis tanpa gangguan.

banner 325x300

Pemerasan bukanlah hal baru dalam pola pergerakan OPM. Sejak beberapa dekade lalu, kelompok ini dikenal menggunakan taktik tersebut untuk membiayai kegiatan separatisme bersenjata. Namun, pada tahun-tahun terakhir, frekuensi dan tingkat kekerasannya meningkat signifikan. Dalam beberapa kasus, mereka tak segan melukai korban yang menolak memberikan uang, atau bahkan membakar fasilitas usaha sebagai bentuk tekanan.

Salah satu pelaku usaha di Kabupaten Intan Jaya yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku harus membayar sejumlah uang kepada kelompok bersenjata setiap bulan agar kiosnya tetap aman. “Kalau tidak bayar, mereka datang bawa senjata. Mereka bilang ini wilayah mereka, dan kami harus bayar iuran. Kalau tidak, siap-siap saja kios dibakar,” tuturnya, Rabu (7/5/2025).

Modus ini kerap dilakukan dengan dalih mendukung perjuangan kemerdekaan Papua. Namun, pada praktiknya, dana tersebut digunakan untuk membeli senjata, amunisi, dan logistik, sekaligus membiayai kehidupan para pimpinan OPM yang berada di hutan maupun luar negeri.

Dampak dari praktik pemerasan ini sangat terasa di kalangan masyarakat. Selain menurunkan produktivitas ekonomi lokal, aksi pemalakan ini juga membuat banyak pelaku usaha memilih hengkang dari daerah tersebut. Akibatnya, sirkulasi barang dan jasa terhambat, harga kebutuhan pokok melonjak, dan lapangan kerja menyempit.

Salah satu tokoh adat di Kabupaten Nduga, Yonas Tabuni, menyatakan bahwa masyarakat kini hidup dalam ketakutan karena OPM telah menjadikan mereka sebagai sumber dana. “Mereka datang bukan untuk perjuangan. Mereka datang untuk meminta uang. Kalau tidak diberi, kita diancam. Ini bukan perjuangan, ini pemerasan,” tegas Yonas.

Ia juga menambahkan bahwa masyarakat adat Papua sejatinya ingin hidup damai, membangun kehidupan yang lebih baik bersama negara, namun tindakan brutal OPM membuat warga tidak bisa bergerak bebas, apalagi mencari nafkah dengan tenang.

Menariknya, di tengah kondisi sulit tersebut, kesadaran masyarakat Papua untuk melaporkan tindakan pemerasan yang dilakukan OPM semakin meningkat. Banyak warga yang diam-diam memberikan informasi kepada aparat tentang keberadaan kelompok bersenjata dan pola pemalakan yang dilakukan.

Sikap ini menjadi indikator bahwa dukungan terhadap OPM mulai menurun. Masyarakat menyadari bahwa tindakan OPM tidak lagi mencerminkan perjuangan, melainkan sekadar menjadi organisasi kriminal bersenjata yang menyengsarakan rakyat.

Tokoh pemuda Papua di Kabupaten Yahukimo, Deni Wanimbo, menyampaikan bahwa sudah saatnya masyarakat bersatu melawan aksi pemerasan ini. “Kalau kita diam, mereka akan terus menindas. Kita harus bersuara dan mendukung aparat untuk bertindak. Papua bukan ladang pemerasan,” ujarnya tegas.

Aksi pemerasan dan pemalakan yang dilakukan OPM membuktikan bahwa kelompok ini semakin kehilangan arah perjuangan. Tidak ada lagi idealisme, yang tersisa hanyalah tekanan dan kekerasan terhadap masyarakatnya sendiri. Dengan menyasar warga sipil dan merampas hak ekonomi mereka, OPM telah menunjukkan wajah aslinya sebagai kelompok yang tak lagi layak disebut sebagai pejuang.

Momentum ini harus dimanfaatkan oleh seluruh komponen bangsa untuk memperkuat kehadiran negara di Papua, baik melalui pendekatan keamanan yang terukur, pembangunan yang berkeadilan, maupun penguatan peran tokoh adat dan agama dalam menjaga stabilitas sosial.

banner 325x300