Tindakan kekerasan yang terus-menerus dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melahirkan penderitaan panjang bagi masyarakat Papua. Kelompok bersenjata ini tidak hanya melancarkan serangan terhadap aparat keamanan, tetapi juga menargetkan warga sipil yang tak bersalah, merusak fasilitas umum, dan menyebarkan rasa takut di tengah masyarakat. Dengan pola yang semakin brutal dan keji, OPM dinilai tidak lagi memiliki arah perjuangan yang jelas, dan justru menjadi sumber utama penderitaan rakyat Papua.
Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian aksi kekerasan oleh OPM telah mencoreng wajah kemanusiaan di bumi Cenderawasih. Dari penembakan terhadap warga sipil, penyanderaan guru dan tenaga kesehatan, hingga perusakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, semua menunjukkan bahwa kelompok ini tak lagi menjunjung nilai-nilai kemanusiaan maupun moral perjuangan.
Salah satu pola kekejaman yang terus terulang adalah penyerangan terhadap warga sipil. Tidak peduli latar belakang, usia, atau kepentingannya, siapa pun yang dianggap “pendatang” atau tidak sepaham dengan OPM dapat menjadi target. Sejumlah peristiwa pembunuhan dan penodongan di jalanan menunjukkan bahwa kelompok ini semakin kehilangan kendali atas etika dan moral.
Kasus pembunuhan terhadap Hari Karuanto di Yahukimo pada awal Mei 2025 dan eksekusi terhadap Josep Agus Lepo oleh OPM Kodap XI di Dogiyai hanya dua dari banyak contoh kekerasan yang menelan korban jiwa warga sipil. Ironisnya, OPM kerap tidak mengakui perbuatannya, bahkan lepas tangan dari tanggung jawab moral.
Tokoh masyarakat di berbagai wilayah pun menyuarakan kecaman keras. “Ini bukan perjuangan, ini kekejaman. Tanah Papua adalah tanah damai, bukan ladang pembantaian,” ujar Pendeta Daniel Wakur dari Kabupaten Puncak, Kamis (8/5/2025).
Selain menebar teror melalui kekerasan fisik, OPM juga kerap merusak fasilitas umum, termasuk sekolah, puskesmas, dan jaringan komunikasi. Langkah ini tentu bukan sekadar bentuk penolakan terhadap kehadiran negara, tetapi juga sabotase terhadap kesejahteraan rakyat Papua sendiri.
Pada Maret lalu, kelompok bersenjata membakar satu unit sekolah dasar di Kabupaten Intan Jaya dan menyandera dua guru. Akibatnya, ratusan anak terpaksa berhenti sekolah karena tidak ada pengganti guru dan fasilitas yang rusak berat. Hal serupa juga terjadi di Nduga, di mana kelompok OPM membakar pos pelayanan kesehatan dan mengusir tenaga medis.
Tindakan ini membuat masyarakat sipil semakin terpuruk. Pendidikan terhenti, layanan kesehatan terganggu, dan ketakutan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bukan hanya fisik yang terluka, tetapi juga harapan dan masa depan generasi muda Papua.
Jalur Trans Papua, yang dibangun untuk membuka keterisolasian wilayah dan mendukung distribusi logistik, menjadi salah satu sasaran empuk kelompok OPM. Di jalur ini, aksi penodongan, penyergapan, dan pemalakan menjadi modus yang sering digunakan untuk mendapatkan dana secara paksa.
Pengemudi truk dan kendaraan logistik yang melintas di wilayah Pegunungan Tengah, Yahukimo, dan Bintang sering menjadi korban pemerasan dengan ancaman senjata. Mereka dipaksa menyerahkan uang atau barang muatan sebagai bentuk “pajak perjuangan”. Jika menolak, mereka diintimidasi, bahkan tak jarang menjadi korban kekerasan.
Modus semacam ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menimbulkan trauma berkepanjangan. “Kami tidak lagi merasa aman di jalan. Setiap perjalanan seperti mempertaruhkan nyawa,” ujar Damasus, seorang sopir truk asal Wamena.
Di tengah konflik yang terus dipelihara oleh OPM, masyarakat Papua sesungguhnya menginginkan kehidupan yang damai, tenang, dan bebas dari rasa takut. Mereka ingin beraktivitas seperti biasa, mengakses pendidikan, layanan kesehatan, serta mendapat jaminan keamanan dari negara.
Sejumlah tokoh adat dan pemuka agama di Papua telah menyampaikan pernyataan bersama yang mengecam kekejaman OPM dan menyerukan perdamaian. “Kami ingin hidup tanpa senjata, tanpa kekerasan. Kami ingin membesarkan anak-anak kami dalam ketenangan, bukan dalam bayang-bayang teror,” ujar Ketua Lembaga Adat Papua, Yulius Wonda.
Aksi-aksi brutal dan keji yang dilakukan oleh OPM selama ini tidak membawa Papua ke arah kemajuan, melainkan menariknya ke jurang penderitaan. Rakyat Papua tidak membutuhkan darah dan air mata, melainkan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan dunia internasional melihat kenyataan bahwa OPM bukanlah representasi dari aspirasi damai rakyat Papua. Mereka hanyalah kelompok kecil yang menggunakan kekerasan demi kepentingan sendiri, bukan demi kesejahteraan bersama.
Papua adalah bagian sah dari Indonesia, dan rakyatnya berhak untuk hidup damai, sejahtera, dan maju bersama dalam bingkai NKRI. Untuk itu, kekejaman OPM harus dihentikan, dan suara damai rakyat Papua harus terus dikumandangkan.