INFONUSANTARATIMUR.COM – Di tengah hening hutan Papua, suara tembakan mungkin tak lagi sering terdengar. Namun perang belum usai. Kini medan pertempuran bergeser—bukan di balik laras senjata, melainkan di ruang digital yang dipenuhi arus informasi palsu. Kebohongan dijadikan senjata, dan hoaks menjadi peluru yang menembus pikiran masyarakat tanpa darah, tapi menimbulkan luka yang tak kalah dalam.
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah narasi menyesatkan tentang situasi Papua terus bermunculan di media sosial. Foto-foto lama kembali diunggah dengan keterangan baru yang provokatif. Video dari luar negeri diedit dan disebarkan seolah-olah menggambarkan kekerasan aparat di Tanah Cenderawasih. Tak sedikit pula unggahan yang memutarbalikkan fakta untuk menimbulkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia.
Berdasarkan penelusuran berbagai lembaga pemantau media digital, pola penyebaran hoaks ini menunjukkan kesamaan: narasi dibangun secara sistematis dan terkoordinasi. Konten disebar melalui kanal tidak resmi, akun anonim, dan jaringan simpatisan yang sebagian beroperasi dari luar negeri. Tujuannya bukan sekadar menyebar informasi, tetapi membentuk persepsi publik.
“Hoaks ini digunakan sebagai alat perang opini. Mereka berupaya menciptakan tekanan politik dan memancing simpati internasional dengan menampilkan citra bahwa Papua berada dalam situasi krisis kemanusiaan,” ujar seorang analis keamanan digital yang enggan disebut namanya, Minggu (26/10).
Pihak aparat keamanan juga mencatat bahwa beberapa konten yang sempat viral sebelumnya terbukti hasil manipulasi. Misalnya, foto yang diklaim sebagai korban serangan drone TNI, ternyata merupakan bekas ledakan dari aktivitas ilegal kelompok bersenjata. Dalam kasus lain, video yang disebut memperlihatkan penembakan di Papua ternyata diambil dari konflik di negara lain.
Menurut pengamat media sosial, strategi semacam ini adalah bentuk perang psikologis. OPM dan simpatisannya tidak lagi hanya bergerak dengan senjata di lapangan, tetapi juga berperang melalui narasi di dunia maya. Mereka menargetkan emosi publik dengan kisah penderitaan dan ketidakadilan, agar masyarakat mudah tersulut tanpa sempat memverifikasi kebenaran informasi.
“Yang paling berbahaya adalah ketika masyarakat kehilangan kemampuan membedakan antara fakta dan propaganda,” ujar pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia. “Begitu kepercayaan publik runtuh, maka kebohongan akan tampak seperti kebenaran.”
Di tengah derasnya arus disinformasi, pemerintah dan aparat keamanan kini berupaya memperkuat literasi digital masyarakat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ratusan konten hoaks terkait Papua telah diturunkan dalam dua tahun terakhir. Namun, tantangan terbesar tetap pada kecepatan penyebaran hoaks yang jauh melampaui proses klarifikasi resmi.
Kepala Pusat Informasi Kominfo menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam bermedia sosial. “Jangan langsung percaya pada informasi yang belum jelas sumbernya. Verifikasi dan konfirmasi adalah kunci. Kita harus melawan propaganda dengan fakta, bukan dengan emosi,” ujarnya.
Dalam era di mana kebohongan bisa menyebar lebih cepat daripada kebenaran, perjuangan terbesar justru ada pada upaya menjaga integritas informasi. Sebab di dunia yang diliputi kabut propaganda, membela kebenaran adalah bentuk tertinggi dari keberanian.














