Dari Sekolah ke Medan Tempur: Kisah Pilu Anak-Anak Korban Rekrutmen OPM

banner 120x600
banner 468x60

INFONUSANTARATIMUR.COM – Di pedalaman Papua, suara tawa anak-anak kini semakin jarang terdengar. Di tempat yang seharusnya menjadi ruang belajar dan bermain, kini banyak anak justru harus belajar bertahan hidup di tengah konflik bersenjata. Di sejumlah wilayah, kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) diduga merekrut anak-anak di bawah umur untuk dijadikan bagian dari pasukan mereka.

Informasi ini muncul dari kesaksian warga dan laporan aparat keamanan di beberapa distrik terpencil. Anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah, dibawa keluar dari kampung mereka dengan janji perlindungan dan perjuangan. Namun kenyataannya jauh berbeda.

banner 325x300

“Mereka masih kecil, tapi sudah disuruh angkat senjata. Ada yang baru belasan tahun. Mereka takut, tapi tidak bisa lari karena dijaga terus,” ujar seorang warga di Kabupaten Puncak yang enggan disebut namanya, Minggu (26/10).

Menurut laporan aparat setempat, rekrutmen anak-anak ini dilakukan secara halus. Awalnya, mereka diajak untuk “membantu perjuangan” atau “menjadi penjaga kampung.” Namun perlahan, mereka dilibatkan dalam kegiatan militer seperti latihan menembak, berjaga, dan bahkan ikut dalam serangan. Anak-anak ini tidak hanya kehilangan masa kecil, tetapi juga dipaksa menghadapi trauma yang sulit disembuhkan.

Fenomena ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Pemerhati anak dan aktivis kemanusiaan menilai praktik tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

“Memasukkan anak-anak ke dalam situasi konflik bersenjata adalah bentuk eksploitasi dan kekerasan yang tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun,” ujar Direktur Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam keterangan tertulisnya. “Mereka harus dilindungi, bukan dijadikan alat perjuangan.”

Secara hukum, tindakan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keterlibatan dalam situasi kekerasan, termasuk konflik bersenjata. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB (CRC) serta Protokol Opsional tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, yang melarang keras penggunaan anak di bawah 18 tahun dalam aktivitas militer.

Data dari lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa dampak psikologis bagi anak-anak korban konflik bersenjata sangat besar. Banyak dari mereka mengalami trauma, kehilangan keluarga, dan kesulitan beradaptasi kembali ke kehidupan normal. Sebagian besar juga putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk menggapai masa depan yang lebih baik.

“Anak-anak ini menjadi generasi yang hilang. Mereka tidak punya akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan yang layak. Kalau dibiarkan, ini akan menjadi luka panjang bagi Papua,” kata seorang pekerja sosial yang bertugas di wilayah Pegunungan Tengah.

Pemerintah Indonesia bersama lembaga kemanusiaan kini berupaya melakukan pemulihan bagi anak-anak korban konflik di Papua. Melalui program rehabilitasi dan pendidikan darurat, sejumlah anak yang berhasil dievakuasi mulai mendapatkan pendampingan psikologis dan kesempatan kembali bersekolah. Namun tantangan masih besar, terutama di daerah yang sulit dijangkau karena situasi keamanan yang belum stabil.

Di usia yang seharusnya diisi dengan belajar, bermain, dan bermimpi, banyak anak Papua justru harus tumbuh di bawah bayang-bayang senjata. Dunia mereka berubah menjadi medan perang—tempat di mana masa depan dirampas oleh ketakutan.

Anak-anak Papua seharusnya tumbuh dalam kasih, bukan dalam konflik. Mereka bukan pejuang, bukan tentara. Mereka adalah generasi yang semestinya disiapkan untuk membangun masa depan, bukan menjadi korban dari perjuangan yang tak pernah mereka pilih.

banner 325x300