Gelombang penolakan terhadap keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus menguat di berbagai wilayah Papua. Masyarakat yang dulunya sempat memberikan simpati atas isu-isu perjuangan, kini mulai menunjukkan sikap tegas dan terang-terangan menolak kehadiran kelompok bersenjata tersebut. Hal ini dipicu oleh berbagai aksi kekerasan, pemalakan, pembakaran fasilitas umum, hingga serangan terhadap warga sipil yang dilakukan oleh kelompok OPM dalam beberapa bulan terakhir.
Salah satu titik balik besar terjadi saat sejumlah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban dalam serangan brutal di Distrik Yahukimo dan Intan Jaya. Masyarakat menilai bahwa OPM tak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat Papua, melainkan menjadi ancaman nyata bagi keamanan dan kehidupan sehari-hari warga.
Tokoh masyarakat asal Wamena, Yonas Wakerkwa, menegaskan bahwa simpati yang dulu diberikan masyarakat kini telah hilang. “Masyarakat Papua sekarang melihat bahwa OPM lebih sering menyusahkan dan menakut-nakuti rakyat daripada melindungi mereka. Tidak ada perjuangan yang dibenarkan dengan menodong warga, membakar sekolah, atau menembaki guru dan petugas kesehatan,” ujarnya, Minggu (15/6/2025).
Hal senada disampaikan oleh Pendeta Filemon Tabuni, seorang tokoh gereja yang selama ini aktif dalam kegiatan perdamaian di Papua. Menurutnya, banyak masyarakat di pedalaman mulai berani melaporkan keberadaan OPM kepada aparat keamanan. “Dulu mereka takut, tapi sekarang mereka marah. Mereka sadar, kalau terus diam, yang jadi korban adalah keluarga mereka sendiri,” katanya.
Penurunan simpati terhadap OPM juga dirasakan oleh aparat keamanan yang selama ini berada di lapangan. Kepala Operasi Damai Cartenz, Kombes Faizal Ramadhani, menyebutkan bahwa bantuan informasi dari warga sangat membantu dalam penindakan kelompok bersenjata. “Warga semakin proaktif. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi memandang OPM sebagai pembela, melainkan pelaku kejahatan yang harus dihentikan,” ungkapnya.
Selain aksi kekerasan, praktik pemerasan yang dilakukan oleh OPM di jalan-jalan lintas kampung juga membuat masyarakat geram. Pengendara motor, sopir truk, hingga pedagang kecil menjadi korban pemalakan, dengan dalih “iuran perjuangan” yang sebenarnya digunakan untuk membeli senjata dan logistik kelompok bersenjata.
Tokoh adat dari Lanny Jaya, Albert Murib, menyampaikan bahwa warga telah menggelar beberapa pertemuan adat untuk membahas cara menolak kehadiran OPM. “Kami sudah putuskan, siapa pun yang membawa kekerasan ke tanah ini harus kami lawan bersama,” tegasnya.
Situasi ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap OPM semakin melemah, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya kedamaian dan pembangunan. Pemerintah diharapkan memperkuat pendekatan dialog dan kesejahteraan, sambil terus menindak tegas aksi-aksi kriminal yang mengatasnamakan perjuangan.