Situasi keamanan di sejumlah wilayah Papua kembali memanas akibat peningkatan aktivitas kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masyarakat sipil di berbagai distrik kini mendesak aparat keamanan (Apkam) untuk memperkuat kehadiran dan perlindungan di lapangan. Mereka merasa keselamatan dan hak dasar mereka terancam, menyusul serangkaian penyerangan terhadap warga, fasilitas umum, dan tenaga kemanusiaan.
Permintaan itu muncul setelah terjadi beberapa insiden dalam tiga bulan terakhir, termasuk penembakan terhadap petugas kesehatan di Kabupaten Intan Jaya, penyanderaan guru di Puncak, serta pembakaran sekolah dan rumah warga di Yahukimo. Aksi-aksi brutal ini dilakukan oleh kelompok bersenjata yang mengklaim berjuang untuk kemerdekaan Papua, namun dalam praktiknya justru menjadikan masyarakat sipil sebagai korban utama.
Salah satu tokoh masyarakat dari Distrik Sugapa, Yohanes Mote, menyampaikan keresahan mendalam yang dirasakan oleh warga. Ia menyebutkan bahwa masyarakat tidak bisa menjalani aktivitas sehari-hari secara normal karena bayang-bayang ancaman dari kelompok bersenjata. “Kami tidak bisa berkebun, anak-anak takut ke sekolah, dan malam hari kami tidur dalam ketakutan. Kami minta tolong kepada negara, kirim aparat yang bisa melindungi kami, bukan hanya untuk patroli, tapi untuk benar-benar menjaga rakyat,” ujar Yohanes, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, banyak warga kini mulai mengungsi ke kota atau ke tempat yang dianggap lebih aman. Namun pengungsian dalam jangka panjang berdampak buruk terhadap ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat, terutama di wilayah pedalaman yang bergantung pada hasil kebun dan hutan.
Tokoh perempuan Papua, Maria Tebai, yang juga aktif di lembaga swadaya masyarakat lokal, menekankan pentingnya pendekatan yang berfokus pada perlindungan sipil, bukan sekadar operasi militer. Ia menegaskan bahwa kehadiran aparat keamanan harus diarahkan untuk mendampingi masyarakat, membangun rasa aman, dan menjaga fasilitas publik, bukan menciptakan ketegangan baru.
“Kami tidak menolak kehadiran aparat, tapi kami ingin aparat hadir sebagai pelindung, bukan sebagai ancaman. Kalau masyarakat takut pada kelompok bersenjata” tegas Maria dalam sebuah diskusi publik di Wamena, pekan lalu.
Dalam beberapa pernyataannya, OPM menyatakan bahwa mereka menargetkan aparat negara. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa justru masyarakat sipil menjadi korban paling banyak dari aksi kekerasan mereka. Data dari lembaga kemanusiaan mencatat bahwa lebih dari 70% korban selama dua tahun terakhir adalah warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, dan tenaga pendidik.
Dari kalangan muda Papua, muncul harapan agar pemerintah lebih mendengarkan suara akar rumput. Andreas Pigai, mahasiswa asal Nabire yang kini aktif dalam forum dialog pemuda Papua, menyampaikan bahwa banyak generasi muda Papua yang kecewa terhadap kekerasan OPM, namun juga berharap negara hadir secara adil dan penuh empati.
“Kami tidak ingin Papua jadi medan perang terus-menerus. Kami ingin sekolah, ingin kerja, ingin bangun keluarga. Tapi semua itu tidak bisa terjadi kalau rasa aman tidak ada. Kami dukung aparat yang mau jaga rakyat” ujarnya.